14 May 2007

Malam bercerita lain hari ini

Malam datang kembali. Lelaki itu duduk tepat di ujung ruangan sana, di tempat yang sama seperti biasanya, memesan minuman khas seperti biasanya, mengangkat gelas dengan cara yang biasanya dan menghabiskannya dalam sekali teguk, ya, seperti biasanya. Terdiam diantara berkas cahaya redup mesum sebuah klab malam sudah menjadi ritual kesehariannya. Setelah lelah bertarung dengan deretan angka-angka dan berkas-berkas kerja sepanjang hari, ia kembali kesini. Di ujung ruang temaram disebuah klab malam.

Ia akan sebentar saja berada disana, sebelum klub ini berubah riuh gaduh. Sebelum suasana menjadi hangat dan cenderung panas. Sebelum para penari itu melepas baju, sebelum atraksi para penyanyi dimulai, ia akan berdiri, kemudian melangkah dengan sedikit gontai, kembali kepelukan malam yang dingin. Berjalan pulang kerumah dan bersiap untuk berkelahi. Dengan deretan angka-angka dan berkas-berkas kerja esok hari.

Tapi malam bercerita lain hari ini.
* * * * *

Malam akan datang kembali. Perempuan itu akan duduk tepat diujung ruangan sana, ditempat yang sama seperti biasanya, menunggu gilirannya tiba, untuk kembali bernyanyi seperti biasanya. Kemudian ia akan berpesan agar tetap mengosongkan bangku itu dari para pengunjung klub malam lainnya. Ia merasa tenang disana. Ia selalu merasakan kehangatan disana. Ia tak pernah ingin tahu kenapa, dan ia pun tak pernah peduli mengapa.

Kemudian Ia akan pulang menjelang pagi, menaburkan bedak dan membenahi make-up hingga terlihat sedikit rapi. Ia akan pulang ke kamarnya sendiri, ia tak pernah membawa pulang laki-laki, tidak seperti kebanyakan penyanyi lainnya, ia selalu menjaga dirinya suci.

Tapi malam hari ini bercerita lain.....

* * * * *

Lelaki itu tinggal disebuah kamar kost dengan enam penghuni lainnya. Ia tidak mengenalnya, dan mereka tak mengenalnya. Ia menutup diri, terlalu malas bersosialisasi. Ia hanya hidup untuk dirinya sendiri, mengejar tujuannya pribadi tanpa banyak peduli. Ia sedang mencari seseorang. Dari sepenggal lembaran masa lalunya yang kelabu. Ia mencari seorang perempuan yang penah ia sakiti diantara cahaya jingga matahari. Sementara untuk yang lainnya ia tak pernah peduli.

Malam ini kerinduan terhadap perempuan itu memuncak. Ia pernah kembali ke tempat itu, tempat ia dan perempuan itu dibesarkan. Mencoba mencari jejak langkah yang tersisa. Namun perempuan itu tak lagi ada. Beberapa orang bicara perempuan itu mengikuti kepergiannya untuk mengadu nasib ke kota. Beberapa orang bicara bagaimana perempuan itu berontak melawan orangtuanya, lebih memilih terbuang daripada disayang. Perempuan itu pergi mencari dirinya.

Ia tak pernah berhenti mencari. Berharap suatu saat koran akan membawa berita tentang perempuannya. Ia ingin sekali berjumpa, walaupun itu untuk terakhir kalinya. Andaipun ia telah berkeluarga, mempunyai anak tiga dan menjadi orang kaya. Ia tak pernah lelah mencari.

Hingga malam ini.

* * * * *

Perempuan itu membenci matahari. Ia membenci panasnya yang menyengat, ia membenci kilau silaunya, ia membenci warna jinga yang selalu identik dengan matahari. Pernah suatu hari ia begitu menyukai matahari, karena lelaki itu akan tiba selalu bersama warna jingganya. Lelaki itu akan menemaninya menghabiskan sisa warna diatas awan sana, sambil berpegangan tangan erat, tanpa berkata apa-apa. Hanya angin yang akan bernyanyi merdu, semerdu suara yang ia jual setiap malam disebuah klub pinggiran kota.

Hingga saat itu tiba, ketika jingga tak lagi bersahabat dengannya. Lelaki itu berkata sampai jumpa, meninggalkan goresan luka dan tetes air mata. Ia pun murka. Ia menyalahkan matahari untuk warna jingganya, ia putus asa.

Perempuan itu tak mampu lagi menahan rindu. Ia pergi menyusul lelakinya. Mengacuhkan semua petuah orang tua bijak, ia berontak. Tapi ia tak pernah juga menemukan sang lelaki sampai hari ini. Hingga ia terpaksa terpuruk didalam kamar pengap kecil yang ia sewa setiap bulannya. Ia berharap akan ada yang membawakannya kabar berita tentang lelakinya. Mungkin lelakinya telah berkeluarga, mungkin telah menjadi politikus negara atau sekedar perampok kelas kakap. Ia hanya ingin bertemu dengan lelakinya. Ia tak pernah putus asa. Ia tak pernah berhenti berdoa, entah kepada siapa.

Hingga malam ini mulai berbicara.

* * * * *

Malam ini, Lelaki itu tak peduli lagi. Ia bosan semua ini. Ia tak pernah berhenti menyalahkan kesalahan yang ia lakukan saat itu. Rasa rindu ini membunuhnya perlahan. Ia muak, ingin muntah.

* * * * *

perempuan itu menangis pilu. Ia tak lagi ingin menunggu dikamar ini. Ia tak lagi ingin menunggu disini. Ia ingin kembali berlari dan mencari. Lepas dari malam-malamnya di klab, yang begitu gelap dan menyiksa. Ia menjerit tertahan, butuh pelepasan.


* * * * *

Lelaki itu meletakkan foto sang perempuan tepat diatas meja. Disamping surat-surat cinta yang tak pernah bisa ia rampungkan.

* * * * *

Perempuan itu mencium foto lelaki itu untuk terakhir kalinya. Ia sandingkan dengan segala surat-surat cinta yang dulu biasa ia terima. Untaian kata yang akan menjadi abu.

* * * * *

Lelaki itu beranjak mengambil sebotol racun serangga.

* * * * *

Perempuan itu berdiri dan mengambil sebilah pisau.

* * * * *

Dan berita itu datang menyambut pagi yang terbalut sinar matahari.
"Seorang pemuda diketemukan tewas dikamarnya karena diduga meminum racun serangga. Sementara seorang perempuan juga telah ditemukan tidak lagi bernyawa karena menyayat nadinya sendiri tepat disebelah kamar pemuda itu. Polisi masih mencari hubungan diantara keduanya"